Rabu, 26 Mei 2010

Struktur Masyarakat Jawa

Masyarakat jawa memliki budaya, karakteristik, dan identitasnya secara jelas dan unik. Identitas budaya dijadikan sebagai ciri khas yang dimulai sejak jaman kerajaan. Akan tetapi, di jaman sekarang/modern saat sekarang identitas tersebut telah banyak berubah seiring dengan adanya pengaruh budaya luar, sehingga budaya jawa mengalami erosi. Maka muncul istilah “wong_jowo_ilang_jawane” (orang jawa telah kehilangan identitas jawanya), seperti kehilangan unggah-ungguh (saling hormat menghormati), tradisi budaya, penggunaan bahasa, dan sebagainya.
Orang jawa dibedakan menjadi dua kelompok social ekonomi yaitu:
1. Kaum Priyayi, yaitu terdiri dari priyayi rendah (pegawai rendah dan intelektual) dan priyayi tinggi (pejabat)
2. Wong cilik, yaitu para petani di pedesaan dan orang-orang yang berpendapatan rendah di kota-kota.
Orang jawa dibedakan menjadi dua kelompok social keagamaan yaitu:
1. Kaum santri, yaitu orang jawa yang hidupnya berusaha sesuai dengan ajaran agama islam (islam aktif dan taat)
2. Kaum abangan, yaitu terdiri orang jawa yang Bergama islam pasif sebagai pemilik tradisi budaya dan non islam, yaitu orang jawa yang telah berpindah dari agama islam ke agama lain.
Orang jawa dibedakan menjadi tiga kelompok secara antropologis:
1. Kaum priyayi, yaitu orang-orang jawa ningrat yang masih memiliki keturunan atau dari keluarga keratin.
2. Kaum santri, orang-orang jawa islam yang hidupnya lebih didominasi pengalaman agama islam.
3. Kaum abangan, yaitu orang jawa yang berasal dari kalangan bawah (bukan santri ataupun bukan priyayi).
Akan tetapi selang beberapa dasa warsa (di era pembangunan sekarang) ketiga kelompok orang jawa tersebut telah membaur dan bersifat saling mempengaruhi, sehingga menjadi: ada priyayi yang memiliki sifat abangan yang cenderung kasar, dahulu seorang abangan kini menjadi santri atau bahkan priyayi.
Manusia jawa dalam interaksinya dalam satu keluarga (lingkup mikro) setiap orang harus dapat membawa diri dan bersikap sesuai prinsip kekeluargaan, misalnya seorang anak harus dapat menghormati kedua orang tua “mbangun_miturut_bapa_biyung”. Orang jawa harus menghormati para leluhurnya “mikul_dhuwur_mendhem_jero” dan lain sebagainya. Semuanya itu demi terciptanya memayu_hayuning_salira” (mempercantik perilaku diri).
Manusia jawa dalam interaksinya dengan sesama (lingkup mezzo), maka setiap orang harus dapat hormat menghormati, bergaul sesuai dengan prinsip: gotong royong atau kekadangan. Seseorang harus dapat “ajur-ajer” dengan sesamanya, tidak boleh pilih kasih. Pergaulan dengan lingkungan tersebut termasuk didalamnya dengan lelembut (makhluk halus). Makhluk halus menurut kepercayaan manusia jawa diberi hormat dengan sesajen. Karena makhluk halus tersebut dapat mengganggu manusia, bahkan makhluk halus dapat dimintai pertolongan, seperti mencarikan kekayaan, mencari kesaktian, dan lain sebagainya.
Manusia jawa dalam interaksinya dengan lingkungan yang lebih besar atau disebut juga dengan Negara atau pemerintahan (lingkup makro) harus dapt membawa diri dalam bersikap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar