Although not nobody knows for sure, since when the legend came out and why the area called Swamp dizziness, linking local communities remains an area of 2670 ha lake with the emergence of a figure that large snakes that are considered sacred. Still according to them, at certain moments the snake to move around the pond to give blessings to people in need. To the extent to honor the legend, a snake-shaped ornament from the large concrete even in pairs at the entrance of this lake.
Pening swamp, so the name was a tourist attraction. Pening marsh is a popular tourist locations in Central Java Province, precisely in the village of Bukit Cinta, Ambarawa District, located 45 km from Semarang. The extent of covering four districts; Ambarawa, Bawen, Tuntang, and Banyubiru. Lake itself is located on the slopes of Mt. Merbabu, Gn. Telomoyo and Gn. Ungaran with a height of 461 masl.
At that time, in an opportunity for us to start from Salatiga, takes only 10 minutes drive. Apparently, the distance Salatiga - Swamp Pening just 5 km. To get there we will go through a little road uphill and winding. Some seem to decorate the house and garden right and left side of the road. Also, do not miss the cold directly ambushed, a sign we are at altitude.
Looks cloudy day, when we arrive at this tourist attraction, at 8.30 am. The desire to explore the lake with an area covering four of these districts also had nevertheless carried out. Because, not so long ago heavy rain falls. If you already like this, will be limited visibility due to fog and rental boat was deserted.
The plan, a brief visit to enjoy the charm of this lake is considered sacred by local people, while a close look at the inhabitants of the area by the local community called 'fish Wader'. It is said that fish eggs are nutritious as the glue to cure broken bones.
A Legend
According to the story that develops in the community, the source of lake water derived from water luberan cabutan former New lidi k-ping.
Once, there lived a boy who due to its miracle in the curse of a wicked witch. As a result, the boy had wounds all over his body with a very sharp odor. The wound would never dry. If you begin to dry, always appear new wounds, caused bruising.
Finally, no one wants to be friends with him. Let alone close together, they reluctantly spoken. Each of them must have passed away. Do not want to touch, for fear of contagion.
This kid started to wander from one place to another to find someone who can cure the illness. Until later in his dreams, he meets a kindly old lady. Later he was the one who could release the evil spell so that he can recover as before.
Finally, nothing in dinyana not think he even arrived in a village that most of the people are very arrogant. Not many poor people in that place. If any, would be expelled or made uncomfortable by a variety of ways.
Hypocrisy of the people of this ward had stirred the conscience a little boy, who later named the New k-ping known. In a lively party, the boy managed to menyellinap entry. But what Surefire, he too must be willing at forcibly expelled because of getting caught.
As he was in drag, he ordered that they would willingly pay attention to those who can not, because they are human too. Just like them. In the treat so he was not so bothered. But the anger began to peak, when dozens of people began to smirk as he spat at him. "Hobgoblin basic, ugly child," as he curses them.
Did not receive treatment, he was immediately plunged a stick-which happened to be there. Then he was furious with the face of an oath, that no one who could lift this stick, except himself.
Can not believe the talk of the boy, each man began trying to pull the stick. But, again, stick-it did not budge from its place. Eventually people began to fear the talk of the boy. "Do-not there will be nothing?" Thought they were.
Sure enough, within a few days, no one who could release the stick. Until finally, he secretly returned to the place and pulled it out. A resident who saw action kebetuan past, directly stunned. He also told the story to other people. Shortly thereafter, the water droplets came out of the hole. More and more, until eventually drown the village and make it into a lake.
It is said that not many people who survived, apart from residents who saw the incident and an elderly widow who kindly gave him a lift. This widow who cared for him too, until miraculously, the disease gradually disappeared.
But the wicked witch, still not received, until at one point, the New k-ping back in the curse. But strangely, this time the curse is not a disease, but instead change his body into a very large snake with a necklace on her neck clanged.
Another version mentions, these snakes are often out of the nest promptly at 0:00 pm. Every time he moves, the clatter of a necklace around her neck always reads; klentang klenting. Finally, this also makes it sound known as the New k-ping.
It is said that fishermen who are trouble because they do not get a fish, would be lucky if the new k-ping pass not far from the place. That has made his presence has become a legend thanks to the most in waiting.
Jumat, 04 Juni 2010
. Legenda Rawa Pening
Walau tak tak ada yang tahu pasti, sejak kapan legenda itu muncul dan mengapa kawasan tersebut di sebut Rawa pening, tetap saja masyarakat setempat mengaitkan telaga seluas 2.670 Ha itu dengan kemunculan sesosok ular besar yang dianggap keramat. Masih menurut mereka, di saat-saat tertentu ular tersebut bergerak mengitari telaga untuk memberi berkah bagi orang-orang yang membutuhkan. Sampai-sampai untuk menghormati legenda tersebut, sebuah ornamen dari beton berbentuk ular besar pun di pasang di pintu masuk telaga ini.
Rawa Pening, demikian nama objek wisata itu. Rawa Pening merupakan lokasi wisata populer di Propinsi Jawa Tengah, tepatnya di Desa Bukit Cinta, Kabupaten Ambarawa, berjarak 45 Km dari Semarang. Luasnya mencakup 4 wilayah kecamatan; Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Telaga ini sendiri berada di lereng Gn. Merbabu, Gn. Telomoyo dan Gn. Ungaran dengan ketinggian 461 mdpl.
Saat itu, di sebuah kesempatan kami memulainya dari Salatiga, hanya memakan waktu 10 menit berkendara. Rupanya, jarak Salatiga – Rawa Pening cuma 5 Km. Untuk sampai kesana kita akan melalui jalan yang sedikit menanjak dan berkelok-kelok. Beberapa rumah dan kebun tampak menghiasi sisi kanan dan kiri jalan. Selain itu, tak ketinggalan hawa dingin yang langsung menyergap, pertanda kita sedang berada di ketinggian.
Hari tampak mendung, saat kami tiba di objek wisata ini, pukul 8.30 pagi. Keinginan menjelajahi telaga yang luasnya mencakup 4 kecamatan ini pun sempat urung dilaksanakan. Pasalnya, tak lama berselang hujan deras turun. Jika sudah begini, jarak pandang akan terbatas akibat kabut dan penyewaan perahu tampak sepi.
Rencananya, kunjungan singkat ini untuk menikmati pesona telaga yang dianggap sakral oleh penduduk setempat, sembari melihat dari dekat penghuni kawasan yang oleh masyarakat sekitar di sebut ‘ikan wader’. Konon telur ikan ini berkhasiat sebagai obat perekat bagi tulang yang patah.
Sebuah Legenda
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, sumber air telaga berasal dari luberan air bekas cabutan lidi Baru Klinting.
Alkisah, hiduplah seorang bocah yang karena kesaktiannya di kutuk seorang penyihir jahat. Akibatnya, bocah itu memiliki luka di sekujur tubuh dengan bau yang sangat tajam. Luka itu tak pernah mau kering. Jika mulai kering, selalu saja muncul luka-luka baru, disebabkan memar.
Akhirnya, tak ada seorang pun yang mau bersahabat dengannya. Jangankan berdekatan, bertegur sapa pun mereka enggan. Setiap berpapasan mereka pasti melengos. Tak ingin bersinggungan, karena takut tertular.
Bocah ini pun mulai berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk menemukan seseorang yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Hingga kemudian dalam mimpinya, ia bertemu seorang wanita tua yang baik hati. Kelak dialah yang sanggup melepaskan mantera jahat tersebut sehingga ia bisa pulih seperti semula.
Akhirnya, tak dinyana tak di duga, dia pun tiba di sebuah kampung yang kebanyakan orang-orangnya sangat sombong. Tak banyak orang miskin di tempat itu. Kalaupun ada, pasti akan di usir atau dibuat tidak nyaman dengan berbagai cara.
Kemunafikan orang-orang kampung ini mengusik nurani bocah kecil tadi, yang belakangan diketahui bernama Baru Klinting. Dalam sebuah pesta yang meriah, bocah tersebut berhasil menyellinap masuk. Namun apa ayal, ia pun harus rela di usir paksa karena ketahuan.
Saat tengah di seret, ia berpesan agar sudi kiranya mereka memperhatikan orang-orang tak mampu, karena mereka juga manusia. Sama seperti mereka. Di perlakukan begitu ia tak begitu ambil pusing. Namun amarah mulai memuncak, saat puluhan orang mulai mencibir sembari meludahi dirinya. “dasar anak setan, anak buruk rupa”, begitu maki mereka.
Tak terima dengan perlakuan itu, ia pun langsung menancapkan sebatang lidi yang kebetulan ada di sana. Lalu dengan wajah berang ia pun bersumpah, bahwa tak ada seorang pun yang sanggup mengangkat lidi ini, kecuali dirinya.
Tak percaya dengan omongan sang bocah, masing-masing orang mulai mencoba mencabut lidi tersebut. Namun, lagi-lagi, lidi itu tak bergeming dari tempatnya. Hingga akhirnya orang-orang mulai takut dengan omongan si bocah. “Jangan-jangan akan ada apa-apa?” pikir mereka.
Benar saja, dalam beberapa hari, tak ada seorang pun yang sanggup melepas lidi tersebut. Hingga akhirnya, secara diam-diam ia kembali lagi ke tempat itu dan mencabutnya. Seorang warga yang kebetuan lewat melihat aksinya, langsung terperangah. Ia pun menceritakan kisah itu kepada orang-orang yang lain. Tak lama kemudian, tetesan air pun keluar dari lubang tadi. Makin lama makin banyak, hingga akhirnya menenggelamkan kampung tersebut dan membuatnya menjadi telaga.
Konon tak banyak orang yang selamat, selain warga yang melihat kejadian dan seorang janda tua yang berbaik hati memberinya tumpangan. Janda ini pula yang merawatnya, hingga secara ajaib, penyakit tersebut berangsur-angsur hilang.
Namun penyihir jahat, tetap tak terima, hingga di suatu ketika, Baru Klinting kembali di kutuk. Namun aneh, kali ini kutukan bukan berupa penyakit, tapi malah merubah tubuhnya menjadi ular yang sangat besar dengan kalung yang berdentang pada lehernya.
Versi lain menyebutkan, ular ini sering keluar dari sarangnya tepat pukul 00.00 WIB. Setiap ia bergerak, dentingan kalung di lehernya selalu berbunyi; klentang klenting. Akhirnya, bunyi ini pula yang membuatnya di kenal sebagai Baru Klinting.
Konon, nelayan yang sedang kesusahan karena tidak mendapat ikan, pasti akan beruntung jika Baru Klinting lewat tak jauh dari tempatnya. Itu yang membuat legenda kehadirannya telah menjadi semacam berkat yang paling di tunggu-tunggu.
Rawa Pening, demikian nama objek wisata itu. Rawa Pening merupakan lokasi wisata populer di Propinsi Jawa Tengah, tepatnya di Desa Bukit Cinta, Kabupaten Ambarawa, berjarak 45 Km dari Semarang. Luasnya mencakup 4 wilayah kecamatan; Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Telaga ini sendiri berada di lereng Gn. Merbabu, Gn. Telomoyo dan Gn. Ungaran dengan ketinggian 461 mdpl.
Saat itu, di sebuah kesempatan kami memulainya dari Salatiga, hanya memakan waktu 10 menit berkendara. Rupanya, jarak Salatiga – Rawa Pening cuma 5 Km. Untuk sampai kesana kita akan melalui jalan yang sedikit menanjak dan berkelok-kelok. Beberapa rumah dan kebun tampak menghiasi sisi kanan dan kiri jalan. Selain itu, tak ketinggalan hawa dingin yang langsung menyergap, pertanda kita sedang berada di ketinggian.
Hari tampak mendung, saat kami tiba di objek wisata ini, pukul 8.30 pagi. Keinginan menjelajahi telaga yang luasnya mencakup 4 kecamatan ini pun sempat urung dilaksanakan. Pasalnya, tak lama berselang hujan deras turun. Jika sudah begini, jarak pandang akan terbatas akibat kabut dan penyewaan perahu tampak sepi.
Rencananya, kunjungan singkat ini untuk menikmati pesona telaga yang dianggap sakral oleh penduduk setempat, sembari melihat dari dekat penghuni kawasan yang oleh masyarakat sekitar di sebut ‘ikan wader’. Konon telur ikan ini berkhasiat sebagai obat perekat bagi tulang yang patah.
Sebuah Legenda
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, sumber air telaga berasal dari luberan air bekas cabutan lidi Baru Klinting.
Alkisah, hiduplah seorang bocah yang karena kesaktiannya di kutuk seorang penyihir jahat. Akibatnya, bocah itu memiliki luka di sekujur tubuh dengan bau yang sangat tajam. Luka itu tak pernah mau kering. Jika mulai kering, selalu saja muncul luka-luka baru, disebabkan memar.
Akhirnya, tak ada seorang pun yang mau bersahabat dengannya. Jangankan berdekatan, bertegur sapa pun mereka enggan. Setiap berpapasan mereka pasti melengos. Tak ingin bersinggungan, karena takut tertular.
Bocah ini pun mulai berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk menemukan seseorang yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Hingga kemudian dalam mimpinya, ia bertemu seorang wanita tua yang baik hati. Kelak dialah yang sanggup melepaskan mantera jahat tersebut sehingga ia bisa pulih seperti semula.
Akhirnya, tak dinyana tak di duga, dia pun tiba di sebuah kampung yang kebanyakan orang-orangnya sangat sombong. Tak banyak orang miskin di tempat itu. Kalaupun ada, pasti akan di usir atau dibuat tidak nyaman dengan berbagai cara.
Kemunafikan orang-orang kampung ini mengusik nurani bocah kecil tadi, yang belakangan diketahui bernama Baru Klinting. Dalam sebuah pesta yang meriah, bocah tersebut berhasil menyellinap masuk. Namun apa ayal, ia pun harus rela di usir paksa karena ketahuan.
Saat tengah di seret, ia berpesan agar sudi kiranya mereka memperhatikan orang-orang tak mampu, karena mereka juga manusia. Sama seperti mereka. Di perlakukan begitu ia tak begitu ambil pusing. Namun amarah mulai memuncak, saat puluhan orang mulai mencibir sembari meludahi dirinya. “dasar anak setan, anak buruk rupa”, begitu maki mereka.
Tak terima dengan perlakuan itu, ia pun langsung menancapkan sebatang lidi yang kebetulan ada di sana. Lalu dengan wajah berang ia pun bersumpah, bahwa tak ada seorang pun yang sanggup mengangkat lidi ini, kecuali dirinya.
Tak percaya dengan omongan sang bocah, masing-masing orang mulai mencoba mencabut lidi tersebut. Namun, lagi-lagi, lidi itu tak bergeming dari tempatnya. Hingga akhirnya orang-orang mulai takut dengan omongan si bocah. “Jangan-jangan akan ada apa-apa?” pikir mereka.
Benar saja, dalam beberapa hari, tak ada seorang pun yang sanggup melepas lidi tersebut. Hingga akhirnya, secara diam-diam ia kembali lagi ke tempat itu dan mencabutnya. Seorang warga yang kebetuan lewat melihat aksinya, langsung terperangah. Ia pun menceritakan kisah itu kepada orang-orang yang lain. Tak lama kemudian, tetesan air pun keluar dari lubang tadi. Makin lama makin banyak, hingga akhirnya menenggelamkan kampung tersebut dan membuatnya menjadi telaga.
Konon tak banyak orang yang selamat, selain warga yang melihat kejadian dan seorang janda tua yang berbaik hati memberinya tumpangan. Janda ini pula yang merawatnya, hingga secara ajaib, penyakit tersebut berangsur-angsur hilang.
Namun penyihir jahat, tetap tak terima, hingga di suatu ketika, Baru Klinting kembali di kutuk. Namun aneh, kali ini kutukan bukan berupa penyakit, tapi malah merubah tubuhnya menjadi ular yang sangat besar dengan kalung yang berdentang pada lehernya.
Versi lain menyebutkan, ular ini sering keluar dari sarangnya tepat pukul 00.00 WIB. Setiap ia bergerak, dentingan kalung di lehernya selalu berbunyi; klentang klenting. Akhirnya, bunyi ini pula yang membuatnya di kenal sebagai Baru Klinting.
Konon, nelayan yang sedang kesusahan karena tidak mendapat ikan, pasti akan beruntung jika Baru Klinting lewat tak jauh dari tempatnya. Itu yang membuat legenda kehadirannya telah menjadi semacam berkat yang paling di tunggu-tunggu.
Rabu, 26 Mei 2010
Kebudayaan jawa
Pancaran atau pengejawantahan budi manusia jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan lahir batin merupakan salah satu definisi dari kebudayaan jawa. Kedatangan kebudayaan Hindu di jawa melahirkan kebudayaan Hindu-Jawa. Kedatangan kebudayaan Islam di Jawa melahirkan kebudayaan Islam-Jawa. Kebudayaan jawa menjadi sinkretis meliputi unsur-unsur: Pra-Hindu (jawa asli), Hindu Jawa, Islam Jawa, dan Barat Jawa. Barangkali sangat kelihatandan jangan heran apabila manusia jawa sekarang ini cenderung materialistik karena pengaruh budaya barat. Dalam perkembangannya, kebudayaan jawa masih tetap seperti dasar kelahirannya. Menurut pemikiran-pemikiran lama dapat dirumuskan:
a. Manusia jawa berkeyakinan kepada Sang Maha Pencipta, penyebab dari segala kehidupan.
b. Manusia jawa berkeyakinan bahasa manusia adalah bagian dari kodrat alam semesta (makro kosmos). Manusia dengan alam saling mempengaruhi. Tetapi manusia harus sanggup melawan kodrat alam sesuai dengan kehendak cita-cita agar hidup selamat baik di dunia maupun di akherat. Hasil dari perjuangan perlawanan terhadap kodrat alam tersebut berasal dari kemajuan dan kreativitas kebudayaan, sehingga terjalinlah keselarasan dan kebersamaan yang didasarkan pada saling hormat, saling tenggang rasa, saling mawas diri.
c. Manusia jawa rindu akan kondisi “tatatentremkertaraharja” yaitu suatu keadaan yang damai, sejahtera, aman, sentosa, berdasar pada “kautamaningngaurip” (keutamaan hidup) sehingga manusia jawa berkewajiban untuk “memayuhayuningbawono”.
Kitab-kitab yang menjadi kajian filsafat dan kebudayaan jawa, antara lain: karya-karya sastra Ranggawarsita, Sri Mangkunegara IV, Pakubuwono IV (tiga serangkai pujangga jawa). Juga beberapa contoh lakon wayang seperti Karno Tanding, Bimo Suci.
a. Manusia jawa berkeyakinan kepada Sang Maha Pencipta, penyebab dari segala kehidupan.
b. Manusia jawa berkeyakinan bahasa manusia adalah bagian dari kodrat alam semesta (makro kosmos). Manusia dengan alam saling mempengaruhi. Tetapi manusia harus sanggup melawan kodrat alam sesuai dengan kehendak cita-cita agar hidup selamat baik di dunia maupun di akherat. Hasil dari perjuangan perlawanan terhadap kodrat alam tersebut berasal dari kemajuan dan kreativitas kebudayaan, sehingga terjalinlah keselarasan dan kebersamaan yang didasarkan pada saling hormat, saling tenggang rasa, saling mawas diri.
c. Manusia jawa rindu akan kondisi “tatatentremkertaraharja” yaitu suatu keadaan yang damai, sejahtera, aman, sentosa, berdasar pada “kautamaningngaurip” (keutamaan hidup) sehingga manusia jawa berkewajiban untuk “memayuhayuningbawono”.
Kitab-kitab yang menjadi kajian filsafat dan kebudayaan jawa, antara lain: karya-karya sastra Ranggawarsita, Sri Mangkunegara IV, Pakubuwono IV (tiga serangkai pujangga jawa). Juga beberapa contoh lakon wayang seperti Karno Tanding, Bimo Suci.
Struktur Masyarakat Jawa
Masyarakat jawa memliki budaya, karakteristik, dan identitasnya secara jelas dan unik. Identitas budaya dijadikan sebagai ciri khas yang dimulai sejak jaman kerajaan. Akan tetapi, di jaman sekarang/modern saat sekarang identitas tersebut telah banyak berubah seiring dengan adanya pengaruh budaya luar, sehingga budaya jawa mengalami erosi. Maka muncul istilah “wong_jowo_ilang_jawane” (orang jawa telah kehilangan identitas jawanya), seperti kehilangan unggah-ungguh (saling hormat menghormati), tradisi budaya, penggunaan bahasa, dan sebagainya.
Orang jawa dibedakan menjadi dua kelompok social ekonomi yaitu:
1. Kaum Priyayi, yaitu terdiri dari priyayi rendah (pegawai rendah dan intelektual) dan priyayi tinggi (pejabat)
2. Wong cilik, yaitu para petani di pedesaan dan orang-orang yang berpendapatan rendah di kota-kota.
Orang jawa dibedakan menjadi dua kelompok social keagamaan yaitu:
1. Kaum santri, yaitu orang jawa yang hidupnya berusaha sesuai dengan ajaran agama islam (islam aktif dan taat)
2. Kaum abangan, yaitu terdiri orang jawa yang Bergama islam pasif sebagai pemilik tradisi budaya dan non islam, yaitu orang jawa yang telah berpindah dari agama islam ke agama lain.
Orang jawa dibedakan menjadi tiga kelompok secara antropologis:
1. Kaum priyayi, yaitu orang-orang jawa ningrat yang masih memiliki keturunan atau dari keluarga keratin.
2. Kaum santri, orang-orang jawa islam yang hidupnya lebih didominasi pengalaman agama islam.
3. Kaum abangan, yaitu orang jawa yang berasal dari kalangan bawah (bukan santri ataupun bukan priyayi).
Akan tetapi selang beberapa dasa warsa (di era pembangunan sekarang) ketiga kelompok orang jawa tersebut telah membaur dan bersifat saling mempengaruhi, sehingga menjadi: ada priyayi yang memiliki sifat abangan yang cenderung kasar, dahulu seorang abangan kini menjadi santri atau bahkan priyayi.
Manusia jawa dalam interaksinya dalam satu keluarga (lingkup mikro) setiap orang harus dapat membawa diri dan bersikap sesuai prinsip kekeluargaan, misalnya seorang anak harus dapat menghormati kedua orang tua “mbangun_miturut_bapa_biyung”. Orang jawa harus menghormati para leluhurnya “mikul_dhuwur_mendhem_jero” dan lain sebagainya. Semuanya itu demi terciptanya memayu_hayuning_salira” (mempercantik perilaku diri).
Manusia jawa dalam interaksinya dengan sesama (lingkup mezzo), maka setiap orang harus dapat hormat menghormati, bergaul sesuai dengan prinsip: gotong royong atau kekadangan. Seseorang harus dapat “ajur-ajer” dengan sesamanya, tidak boleh pilih kasih. Pergaulan dengan lingkungan tersebut termasuk didalamnya dengan lelembut (makhluk halus). Makhluk halus menurut kepercayaan manusia jawa diberi hormat dengan sesajen. Karena makhluk halus tersebut dapat mengganggu manusia, bahkan makhluk halus dapat dimintai pertolongan, seperti mencarikan kekayaan, mencari kesaktian, dan lain sebagainya.
Manusia jawa dalam interaksinya dengan lingkungan yang lebih besar atau disebut juga dengan Negara atau pemerintahan (lingkup makro) harus dapt membawa diri dalam bersikap.
Orang jawa dibedakan menjadi dua kelompok social ekonomi yaitu:
1. Kaum Priyayi, yaitu terdiri dari priyayi rendah (pegawai rendah dan intelektual) dan priyayi tinggi (pejabat)
2. Wong cilik, yaitu para petani di pedesaan dan orang-orang yang berpendapatan rendah di kota-kota.
Orang jawa dibedakan menjadi dua kelompok social keagamaan yaitu:
1. Kaum santri, yaitu orang jawa yang hidupnya berusaha sesuai dengan ajaran agama islam (islam aktif dan taat)
2. Kaum abangan, yaitu terdiri orang jawa yang Bergama islam pasif sebagai pemilik tradisi budaya dan non islam, yaitu orang jawa yang telah berpindah dari agama islam ke agama lain.
Orang jawa dibedakan menjadi tiga kelompok secara antropologis:
1. Kaum priyayi, yaitu orang-orang jawa ningrat yang masih memiliki keturunan atau dari keluarga keratin.
2. Kaum santri, orang-orang jawa islam yang hidupnya lebih didominasi pengalaman agama islam.
3. Kaum abangan, yaitu orang jawa yang berasal dari kalangan bawah (bukan santri ataupun bukan priyayi).
Akan tetapi selang beberapa dasa warsa (di era pembangunan sekarang) ketiga kelompok orang jawa tersebut telah membaur dan bersifat saling mempengaruhi, sehingga menjadi: ada priyayi yang memiliki sifat abangan yang cenderung kasar, dahulu seorang abangan kini menjadi santri atau bahkan priyayi.
Manusia jawa dalam interaksinya dalam satu keluarga (lingkup mikro) setiap orang harus dapat membawa diri dan bersikap sesuai prinsip kekeluargaan, misalnya seorang anak harus dapat menghormati kedua orang tua “mbangun_miturut_bapa_biyung”. Orang jawa harus menghormati para leluhurnya “mikul_dhuwur_mendhem_jero” dan lain sebagainya. Semuanya itu demi terciptanya memayu_hayuning_salira” (mempercantik perilaku diri).
Manusia jawa dalam interaksinya dengan sesama (lingkup mezzo), maka setiap orang harus dapat hormat menghormati, bergaul sesuai dengan prinsip: gotong royong atau kekadangan. Seseorang harus dapat “ajur-ajer” dengan sesamanya, tidak boleh pilih kasih. Pergaulan dengan lingkungan tersebut termasuk didalamnya dengan lelembut (makhluk halus). Makhluk halus menurut kepercayaan manusia jawa diberi hormat dengan sesajen. Karena makhluk halus tersebut dapat mengganggu manusia, bahkan makhluk halus dapat dimintai pertolongan, seperti mencarikan kekayaan, mencari kesaktian, dan lain sebagainya.
Manusia jawa dalam interaksinya dengan lingkungan yang lebih besar atau disebut juga dengan Negara atau pemerintahan (lingkup makro) harus dapt membawa diri dalam bersikap.
Minggu, 23 Mei 2010
仪式
据 Koentjaraningrat(1984:190)的典礼或仪式或仪式感是一个系统事件或因习惯与通常的事件有关社区内发生的各类现行法律有关的社会组织的一系列行动。
三宝垄居住在这前,我们发现一些传统的仪式,仍然是由公众持有。在这个仪式上,有必须按照会见了仪式的目的,一些要求。还有一些传统仪式举行diderah社区,其中包括:
1。 Ngekol仪式
在村Ngekol Bejalen,安巴拉哇区,礼三宝垄摄政。 Bejalen村有一个传统,每年举行一次名为 ngekol。 Ngekol举行纪念或荣誉的第一人谁打开了 Bejalen村庄,即Mbah的维多多。 Beliaulah围绕这后来被称为村头晕 Bejalen沼泽从谁住在该地区,即Mbah的维多多人民的名义采取的第一个,开放的土地。但在用于调用Mbah的GOJALI,然后 tersebutlah Bejalen村地区的人民。
这次活动举行的一个月尔黑哲月,并持续了两天。在盘后的黄昏的居民第一天举行了祈祷一起,即先知和信读亚辛。为读者提供一个Mbah的多多祈祷。经过这些青年文化巡游,其中内容与结块马表演,klotekan酒窝,沿海舞蹈,舞蹈,成为典型的blarak马祈祷。在举行新嘉年华或参加会议的所有居民 Bejalen.Dalam葡萄酒Bejalen arakkan,所有公民都高兴地从老遵循年轻游行早晨。他们渴望跟随游行。游行队伍开始从乡村来到坟墓Bejalen Mbah的维多多,一个距离约2公里。
这成为游行的许多山区典型的是 salak.Karena萨拉克Bejalen是产区。是时,除了采取山葡萄酒狂吠arakkan也带来农产品和鱼。由于大多数居民Bejalen生活的农民和周围的沼泽地头晕渔民。锥,花和ingkung鸡肉和各种水果也不会忘记活跃游行。
之后游行到墓地Mbah的维多多,锥形状和周围的土冢聚集,居民聚在一起,朗诵的看守政府祷告,先知,在祈祷完毕直接的居民纷纷在山上malanan和水果,因为梅雷莱相信tumpengan如果成功带回家从坟墓ngekol事件Mbah的维多多,食物或水果会带来祝福的食物或水果。
演出结束后完成锥争论状骨,有一个多个事件搞活这个 ngekol事件是在手工kosong.biasanya谁遵循这个孩子,但家长也可以,因为为了搞活事件表明塘鱼战斗。
2。仪式梅尔蒂Dhusun
还是在三宝垄地区,在西部Ungaran恶性区村庄,我们还发现,在梅尔蒂dhusun Bejalen村几乎类似的仪式。梅尔蒂dhusun的感恩仪式进行恶性村民每一年一次。此事件通常是在星期一Kliwon,在年中。这次活动举行欢迎祖灵menghormari恶劣的聚落,这是第一人谁在恶性居住。
在该事件发生时,人们把诸如大米和小菜如鸡,粮食,蔬菜也知道,饼干,以及一些零食和饮料市场。他们memebawa食品给村长的家,在那里梅尔蒂 dhusun完成。之后,他们一起祈祷,祈祷完毕后,他们同样 mersama即食食品,他们带来了。
3。伴宇梅尔蒂仪式
在村里也有恶性伴宇梅尔蒂仪式,作为拯救梅尔蒂伴宇和感谢上帝谁已授权水源举行,因此水稻田,是永不干涸。水源是位于约500从村北端米。社区kumlasa所谓笃瓦图。伴宇梅尔蒂活动每年举行一次每个。 Sebelun晚上举行祈祷活动举行村民一起在一个房子的居民。而在早晨,在活动的高潮村举行游行锥和食物水源。在抵达温泉,动物饲养人做村里prosese鸡屠宰鸡只后给予祈祷,鸡,烤,吃bersana相同。
4。 Mbangkuningan仪式
Mbangkuningan颁奖典礼,典礼由村民每年举行例行Polobogo,Getasan区,三宝垄摄政。这个仪式自1598年已存在。当战争爆发的苏拉卡尔塔宫殿,这个时期的皇家宫殿被称为奇索伦逃脱,在一个叫polobogo最终到达的地方之一。马球是指土地,奈巴merarti食物,因为该地区是贫瘠,许多索伦奇makanan.pada他去世时,他给在他沉思的地方埋订单。在一个地方生长开花的树黄色。因此,转介回忆文索伦他得到他的昵称苏南 Kuning.dan萨沙纳墓持久的黄色。
举行这个仪式是荣誉和发送的Kyai古宁,即祖先 polobogo村民祈祷。这就是为什么仪式也被称为履行 mbangkuningan因为Kyai古宁。这项活动是在rejeb举行,星期一Pahing。 Mbangkuningan不仅Polobogo其次是居民,但周边地区的三宝垄的居民,有些人甚至从肯德尔约会,他们预计从该事件的祝福。
在仪式进行前一天,志愿工作组织居民清理吃黄色的苏南和他的家人。而第二天,村民们举行了祈祷,使水稻严重,配菜和小吃,以将其推向市场,以吃,以遵循仪式mbangkuningan。在古代作为一种大米和小菜的产品功能,以及食品,已提请坟墓不应该带回了带头作用。可携带从村外的谁出席指望祝福的人。但现在这种方式bsudah按照修订与伊斯兰宗教的发展,扛着大米和小菜的意思是谁养活了人民参与mbangkuningan.Dan事件带来的食物,没有离开家,再带回家在事件mbangkuningan 现在,所有参加表演的居民谁需要大家一起吃。
三宝垄居住在这前,我们发现一些传统的仪式,仍然是由公众持有。在这个仪式上,有必须按照会见了仪式的目的,一些要求。还有一些传统仪式举行diderah社区,其中包括:
1。 Ngekol仪式
在村Ngekol Bejalen,安巴拉哇区,礼三宝垄摄政。 Bejalen村有一个传统,每年举行一次名为 ngekol。 Ngekol举行纪念或荣誉的第一人谁打开了 Bejalen村庄,即Mbah的维多多。 Beliaulah围绕这后来被称为村头晕 Bejalen沼泽从谁住在该地区,即Mbah的维多多人民的名义采取的第一个,开放的土地。但在用于调用Mbah的GOJALI,然后 tersebutlah Bejalen村地区的人民。
这次活动举行的一个月尔黑哲月,并持续了两天。在盘后的黄昏的居民第一天举行了祈祷一起,即先知和信读亚辛。为读者提供一个Mbah的多多祈祷。经过这些青年文化巡游,其中内容与结块马表演,klotekan酒窝,沿海舞蹈,舞蹈,成为典型的blarak马祈祷。在举行新嘉年华或参加会议的所有居民 Bejalen.Dalam葡萄酒Bejalen arakkan,所有公民都高兴地从老遵循年轻游行早晨。他们渴望跟随游行。游行队伍开始从乡村来到坟墓Bejalen Mbah的维多多,一个距离约2公里。
这成为游行的许多山区典型的是 salak.Karena萨拉克Bejalen是产区。是时,除了采取山葡萄酒狂吠arakkan也带来农产品和鱼。由于大多数居民Bejalen生活的农民和周围的沼泽地头晕渔民。锥,花和ingkung鸡肉和各种水果也不会忘记活跃游行。
之后游行到墓地Mbah的维多多,锥形状和周围的土冢聚集,居民聚在一起,朗诵的看守政府祷告,先知,在祈祷完毕直接的居民纷纷在山上malanan和水果,因为梅雷莱相信tumpengan如果成功带回家从坟墓ngekol事件Mbah的维多多,食物或水果会带来祝福的食物或水果。
演出结束后完成锥争论状骨,有一个多个事件搞活这个 ngekol事件是在手工kosong.biasanya谁遵循这个孩子,但家长也可以,因为为了搞活事件表明塘鱼战斗。
2。仪式梅尔蒂Dhusun
还是在三宝垄地区,在西部Ungaran恶性区村庄,我们还发现,在梅尔蒂dhusun Bejalen村几乎类似的仪式。梅尔蒂dhusun的感恩仪式进行恶性村民每一年一次。此事件通常是在星期一Kliwon,在年中。这次活动举行欢迎祖灵menghormari恶劣的聚落,这是第一人谁在恶性居住。
在该事件发生时,人们把诸如大米和小菜如鸡,粮食,蔬菜也知道,饼干,以及一些零食和饮料市场。他们memebawa食品给村长的家,在那里梅尔蒂 dhusun完成。之后,他们一起祈祷,祈祷完毕后,他们同样 mersama即食食品,他们带来了。
3。伴宇梅尔蒂仪式
在村里也有恶性伴宇梅尔蒂仪式,作为拯救梅尔蒂伴宇和感谢上帝谁已授权水源举行,因此水稻田,是永不干涸。水源是位于约500从村北端米。社区kumlasa所谓笃瓦图。伴宇梅尔蒂活动每年举行一次每个。 Sebelun晚上举行祈祷活动举行村民一起在一个房子的居民。而在早晨,在活动的高潮村举行游行锥和食物水源。在抵达温泉,动物饲养人做村里prosese鸡屠宰鸡只后给予祈祷,鸡,烤,吃bersana相同。
4。 Mbangkuningan仪式
Mbangkuningan颁奖典礼,典礼由村民每年举行例行Polobogo,Getasan区,三宝垄摄政。这个仪式自1598年已存在。当战争爆发的苏拉卡尔塔宫殿,这个时期的皇家宫殿被称为奇索伦逃脱,在一个叫polobogo最终到达的地方之一。马球是指土地,奈巴merarti食物,因为该地区是贫瘠,许多索伦奇makanan.pada他去世时,他给在他沉思的地方埋订单。在一个地方生长开花的树黄色。因此,转介回忆文索伦他得到他的昵称苏南 Kuning.dan萨沙纳墓持久的黄色。
举行这个仪式是荣誉和发送的Kyai古宁,即祖先 polobogo村民祈祷。这就是为什么仪式也被称为履行 mbangkuningan因为Kyai古宁。这项活动是在rejeb举行,星期一Pahing。 Mbangkuningan不仅Polobogo其次是居民,但周边地区的三宝垄的居民,有些人甚至从肯德尔约会,他们预计从该事件的祝福。
在仪式进行前一天,志愿工作组织居民清理吃黄色的苏南和他的家人。而第二天,村民们举行了祈祷,使水稻严重,配菜和小吃,以将其推向市场,以吃,以遵循仪式mbangkuningan。在古代作为一种大米和小菜的产品功能,以及食品,已提请坟墓不应该带回了带头作用。可携带从村外的谁出席指望祝福的人。但现在这种方式bsudah按照修订与伊斯兰宗教的发展,扛着大米和小菜的意思是谁养活了人民参与mbangkuningan.Dan事件带来的食物,没有离开家,再带回家在事件mbangkuningan 现在,所有参加表演的居民谁需要大家一起吃。
Ceremony
According Koentjaraningrat (1984:190) sense of ceremony or ritual or ceremony is a system event or series of actions organized by the customary law prevailing in society related to various events that usually occur in the community concerned.
In this ex Semarang residency we found some traditional ceremonies are still held by the public. In this ceremony, there are several requirements that must be met in accordance with the purpose of the ceremony. There are some traditional ceremonies are held diderah communities, among others:
1. Ngekol Ceremony
Ngekol ceremony in the village of Bejalen, Ambarawa district, Semarang regency. Bejalen village has a tradition held every year once called ngekol. Ngekol was held to commemorate or honor the first person who has opened Bejalen villages, namely Mbah Widodo. Beliaulah the open land around the swamp which was later called the Village dizzy Bejalen, taken from the name of the first people who lived in the area, namely Mbah Widodo. But people in the area usually called him mbah GOJALI, the village tersebutlah Bejalen.
The event was held in the month Dhu al-Hijjah, and lasts for two days. The first day in the evening after the evening 'residents held a prayer together, namely the Prophet and the letter read yasin. Aims to send a prayer for Mbah Widodo. After the prayer over the youth culture parade, which in content with lumping horse show, klotekan dimples, coastal dance, and dance that became typical of horses blarak. New in the morning held carnival or the procession which was attended by all residents Bejalen.Dalam wine-Bejalen arakkan that all citizens are happy to follow from the older to younger. They are eager to follow the procession. The procession started from the village came to the tomb Bejalen Mbah Widodo, a distance of about 2km.
Which became typical of the many mountains of the procession is salak.Karena salak Bejalen is producing region. Which was taken when the wine-barked arakkan besides mountains also bring agricultural produce and fish. Because most residents Bejalen livelihood as farmers and fishermen around the swamp dizzy. Cone shaped, flowers and ingkung chicken, and assorted fruits are also not forget to enliven the procession.
After the procession reached the cemetery Mbah Widodo, cone shaped and gathered around the grave mound, residents got together and recite the prayer of the caretaker, that the Prophet, after the prayer finished direct residents scrambling malanan and fruits in the mountains and because merela believe tumpengan if successful bring home food or fruit from the tomb ngekol event Mbah Widodo, food or fruits that will bring blessing.
After the show finished cone shaped bone of contention, there was one more event to enliven this ngekol event that is fighting for fish in the pond by hand kosong.biasanya who follow this show the kids, but parents are also allowed because in order to enliven the event.
2. Ceremony Merti Dhusun
Still in the district of Semarang, in the village of West Ungaran vicious District, we also found a nearly similar ceremonies in the villages, namely Merti dhusun Bejalen. Merti dhusun a thanksgiving ceremony performed every vicious villagers once a year. This event is usually held on Monday Kliwon, in mid-year. The event was held to welcome ancestral spirits menghormari vile hamlet, the first people who lived in the vicious.
At the time of the event, people bring food such as rice and side dishes, like chicken, vegetable knew, and crackers, as well as some snacks and drinks market. They memebawa food to the village chief's house, where Merti dhusun done. After that they prayed together, and after the prayer finished and they both ate food mersama they already carry.
3. Banyu Merti Ceremony
In the village there are also vicious banyu Merti ceremony, held as Merti banyu salvation and gratitude to God who has delegated the water source, so the fields of rice and is never dry. Water source was located about five hundred meters from the northern end of the village. Community kumlasa called Tuk watu. Events Merti banyu done every once a year. Sebelun night event held villagers held prayers together in one house residents. And in the morning is the culmination of the event is held the cone and the parade of food from the village to the water source. Arriving at the springs, the keeper doing prosese chicken slaughter chickens in the village and after giving the prayer, the chicken-baked and eaten bersana same.
4. Mbangkuningan Ceremony
Mbangkuningan ceremony is an annual ceremony held by the villagers routinely Polobogo, Getasan district, Semarang regency. This ceremony has existed since 1598 BC. When war broke out in the Surakarta palace, one of the royal palace which is called Ki Soreng escape and arrived at a place called polobogo eventually. Polo means land, and Bogo merarti food, because the area was infertile and many Soreng Ki makanan.pada when he died, he gave orders to be buried at the place where he meditated. In place of a flowering tree grows yellow. Therefore, to commemorate Ki Soreng he was given the nickname referred to his tomb of Sunan Kuning.dan sasana lasting yellow.
This ceremony is held to honor and send a prayer for the Kyai Kuning, namely ancestral polobogo villagers. That is why the ceremony was also called to honor mbangkuningan because Kyai Kuning. The event was held in rejeb, on Monday Pahing. Mbangkuningan not only Polobogo followed by citizens, but citizens from around the district semarang, some even dating from Kendal, they expect a blessing from the show.
The day before a ceremony was conducted, voluntary work organized residents to clean eating yellow Sunan and her family. And the next day the villagers held prayers at the grave by bringing rice, side dishes and snacks to take to market to eat in order to follow the ceremony mbangkuningan. In ancient times as a function of rice and side dish offerings, and food that has been brought to the tomb should not be brought back by the lead. Are allowed to bring a person from outside the village who follow the show to expect a blessing. But now that way bsudah modified in line with the development of Islamic religion, the meaning of carrying rice and side dishes are to feed the people who come to the show mbangkuningan.Dan had brought no food left and brought home again home, in the event mbangkuningan now all residents who joined the show are required to eat together.
In this ex Semarang residency we found some traditional ceremonies are still held by the public. In this ceremony, there are several requirements that must be met in accordance with the purpose of the ceremony. There are some traditional ceremonies are held diderah communities, among others:
1. Ngekol Ceremony
Ngekol ceremony in the village of Bejalen, Ambarawa district, Semarang regency. Bejalen village has a tradition held every year once called ngekol. Ngekol was held to commemorate or honor the first person who has opened Bejalen villages, namely Mbah Widodo. Beliaulah the open land around the swamp which was later called the Village dizzy Bejalen, taken from the name of the first people who lived in the area, namely Mbah Widodo. But people in the area usually called him mbah GOJALI, the village tersebutlah Bejalen.
The event was held in the month Dhu al-Hijjah, and lasts for two days. The first day in the evening after the evening 'residents held a prayer together, namely the Prophet and the letter read yasin. Aims to send a prayer for Mbah Widodo. After the prayer over the youth culture parade, which in content with lumping horse show, klotekan dimples, coastal dance, and dance that became typical of horses blarak. New in the morning held carnival or the procession which was attended by all residents Bejalen.Dalam wine-Bejalen arakkan that all citizens are happy to follow from the older to younger. They are eager to follow the procession. The procession started from the village came to the tomb Bejalen Mbah Widodo, a distance of about 2km.
Which became typical of the many mountains of the procession is salak.Karena salak Bejalen is producing region. Which was taken when the wine-barked arakkan besides mountains also bring agricultural produce and fish. Because most residents Bejalen livelihood as farmers and fishermen around the swamp dizzy. Cone shaped, flowers and ingkung chicken, and assorted fruits are also not forget to enliven the procession.
After the procession reached the cemetery Mbah Widodo, cone shaped and gathered around the grave mound, residents got together and recite the prayer of the caretaker, that the Prophet, after the prayer finished direct residents scrambling malanan and fruits in the mountains and because merela believe tumpengan if successful bring home food or fruit from the tomb ngekol event Mbah Widodo, food or fruits that will bring blessing.
After the show finished cone shaped bone of contention, there was one more event to enliven this ngekol event that is fighting for fish in the pond by hand kosong.biasanya who follow this show the kids, but parents are also allowed because in order to enliven the event.
2. Ceremony Merti Dhusun
Still in the district of Semarang, in the village of West Ungaran vicious District, we also found a nearly similar ceremonies in the villages, namely Merti dhusun Bejalen. Merti dhusun a thanksgiving ceremony performed every vicious villagers once a year. This event is usually held on Monday Kliwon, in mid-year. The event was held to welcome ancestral spirits menghormari vile hamlet, the first people who lived in the vicious.
At the time of the event, people bring food such as rice and side dishes, like chicken, vegetable knew, and crackers, as well as some snacks and drinks market. They memebawa food to the village chief's house, where Merti dhusun done. After that they prayed together, and after the prayer finished and they both ate food mersama they already carry.
3. Banyu Merti Ceremony
In the village there are also vicious banyu Merti ceremony, held as Merti banyu salvation and gratitude to God who has delegated the water source, so the fields of rice and is never dry. Water source was located about five hundred meters from the northern end of the village. Community kumlasa called Tuk watu. Events Merti banyu done every once a year. Sebelun night event held villagers held prayers together in one house residents. And in the morning is the culmination of the event is held the cone and the parade of food from the village to the water source. Arriving at the springs, the keeper doing prosese chicken slaughter chickens in the village and after giving the prayer, the chicken-baked and eaten bersana same.
4. Mbangkuningan Ceremony
Mbangkuningan ceremony is an annual ceremony held by the villagers routinely Polobogo, Getasan district, Semarang regency. This ceremony has existed since 1598 BC. When war broke out in the Surakarta palace, one of the royal palace which is called Ki Soreng escape and arrived at a place called polobogo eventually. Polo means land, and Bogo merarti food, because the area was infertile and many Soreng Ki makanan.pada when he died, he gave orders to be buried at the place where he meditated. In place of a flowering tree grows yellow. Therefore, to commemorate Ki Soreng he was given the nickname referred to his tomb of Sunan Kuning.dan sasana lasting yellow.
This ceremony is held to honor and send a prayer for the Kyai Kuning, namely ancestral polobogo villagers. That is why the ceremony was also called to honor mbangkuningan because Kyai Kuning. The event was held in rejeb, on Monday Pahing. Mbangkuningan not only Polobogo followed by citizens, but citizens from around the district semarang, some even dating from Kendal, they expect a blessing from the show.
The day before a ceremony was conducted, voluntary work organized residents to clean eating yellow Sunan and her family. And the next day the villagers held prayers at the grave by bringing rice, side dishes and snacks to take to market to eat in order to follow the ceremony mbangkuningan. In ancient times as a function of rice and side dish offerings, and food that has been brought to the tomb should not be brought back by the lead. Are allowed to bring a person from outside the village who follow the show to expect a blessing. But now that way bsudah modified in line with the development of Islamic religion, the meaning of carrying rice and side dishes are to feed the people who come to the show mbangkuningan.Dan had brought no food left and brought home again home, in the event mbangkuningan now all residents who joined the show are required to eat together.
Sabtu, 22 Mei 2010
tentang semarang
A. UPACARA ADAT
Menurut Koentjaraningrat (1984:190) pengertian upacara atau ritual atau ceremony adalah sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.
Di eks karesidenan Semarang ini kami menemukan beberapa upacara adat yang masih dilaksanakan oleh masyarakat. Dalam upacara adat ini, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sesuai dengan tujuan diadakannya upacara tersebut. Ada beberapa upacara adat yang diadakan masyarakat diderah tersebut, antara lain:
1. Upacara Ngekol
Upacara Ngekol yang ada di Desa Bejalen, kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Desa Bejalen mempunyai tradisi yang diadakan setiap satu tahun sekali yang disebut ngekol. Ngekol ini diselenggarakan untuk mengenang atau menghormati orang pertama yang telah membuka desa Bejalen, yaitu Mbah Gozali. Beliaulah yang membuka lahan di sekitar rawa pening yang kemudian disebut Desa Bejalen, yang diambil dari nama orang pertama yang tinggal di daerah itu, yaitu mbah Gozali. Tetapi orang-orang di daerah tersebut biasa memanggilnya mbah Gojali, maka tersebutlah desa Bejalen.
Acara ini diadakan pada bulan Dzulhijjah, dan berlangsung selama dua hari. Hari pertama pada malam hari setelah isya’ warga menggelar do’a bersama, yaitu membaca tahlil dan surat yasin. Bertujuan mengirim doa untuk Mbah Gozali. Setelah doa selesai para pemuda menggelar pentas budaya, yang di isi dengan pertunjukan kuda lumping, klotekan lesung, tari pesisiran, dan yang menjadi khas yaitu tari kuda blarak. Baru pada pagi harinya diadakan kirab atau arak-arakan yang diikuti oleh seluruh warga Bejalen.Dalam arak-arakkan itu semua warga Bejalen dengan senang hati mengikuti dari yang tua sampai yang muda. Mereka bersemangat mengikuti arak-arakan. Arak-arakan dimulai dari desa Bejalen sampai ke makam Mbah Gozali, yang jaraknya sekitar 2km.
Yang menjadi khas dari sekian banyak arak-arakan adalah gunungan salak.Karena Bejalen adalah daerah penghasil salak. Yang dibawa saat arak-arakkan selain gunungan salak juga membawa hasil pertanian dan ikan. Karena sebagian besar warga Bejalen bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan disekitar rawa pening. Tumpeng, bunga dan ingkung ayam, dan bermacam-macam buah-buahan juga tidak lupa memeriahkan arak-arakan tersebut.
Setelah arak-arakan sampai di Makam Mbah Gozali, tumpeng dan gunungan dikumpulkan di sekitar makam, warga berkumpul dan sang juru kunci membacakan doa, yaitu tahlil, setelah doa selesai warga langsung berebut malanan dan buah-buahan yang ada di gunungan dan tumpengan karena merela percaya bila berhasil membawa pulang makanan atau buah dari acara ngekol makam Mbah gozali, makanan atau buah-buahan itu akan membawa berkah.
Setelah acara rebutan tumpeng selesai, masih ada satu acara lagi untuk memeriahkan acara ngekol ini yaitu berebut ikan di kolam dengan tangan kosong.biasanya yang mengikuti acara ini anak-anak, namun orang tua juga diperkenankan karena untuk memeriahkan acara.
2. Upacara Merti Dhusun
Masih di kabupaten Semarang, di Desa Keji Kecamatan Ungaran Barat, kami juga menemukan upacara yang hampir serupa dengan yang ada di desa Bejalen yaitu Merti dhusun. Merti dhusun merupakan acara syukuran yang dilakukan warga desa Keji setiap satu tahun sekali. Acara ini biasanya diadakan pada hari Senin kliwon, pada pertengahan tahun. Acara ini diadakan untuk menghormari arwah nenek moyang pembuka dusun keji, yaitu orang pertama yang tinggal di Keji.
Pada saat acara, warga membawa makanan berupa nasi dan lauk pauknya, seperti ayam, sayur tahu, dan kerupuk, serta beberapa jajan pasar dan minuman. Mereka memebawa makanan tersebut ke rumah kepala desa, tempat dimana merti dhusun dilakukan. Setelah itu mereka berdoa bersama-sama, dan setelah doa selesai maka mereka mersama-sama menyantap makanan yang sudah mereka bawa.
3. Upacara Merti Banyu
Di Desa keji juga ada upacara merti banyu, Merti banyu diadakan sebagai selamatan dan rasa syukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan sumber air, sehingga sawah dan ladang tidak pernah kekeringan. Sumber air itu letaknya sekitar lima ratus meter dari ujung utara desa. Masyarakat menyebutnya Tuk watu kumlasa. Acara merti banyu dilakukan setiap setahun sekali. Malam hari sebelun acara dilaksanakan warga desa menggelar doa bersama di salah satu rumah warga. Dan pada pagi harinya merupakan puncak acara yaitu menggelar arak-arakan tumpeng dan makanan dari desa sampai ke sumber air. Sesampainya di sumber air, sang juru kunci melakukan prosese penyembelihan ayam kampong dan setelah ayam di beri doa, ayam dibakar dan dimakan bersana-sama.
4. Upacara Mbangkuningan
Upacara mbangkuningan adalah upacara adat tahunan yang rutin diadakan oleh warga desa Polobogo, kecamatan Getasan, kabupaten semarang. Upacara ini sudah ada sejak tahun 1598 masehi. Saat terjadi perang di keraton Surakarta, salah seorang bangsawan keraton yang bernama Ki Soreng melarikan diri dan sampailah di suatu tempat yang akhirnya disebut polobogo. Polo berarti tanah, dan bogo merarti makanan, karena di daerah tersebut memang subur dan banyak makanan.pada saat Ki Soreng meninggal dunia, ia berpesan supaya dimakamkan di tempat dimana ia bersemedi. Di tempat itu tumbuh pohon besar yang berbunga kuning. Oleh karena itu untuk mengenang Ki Soreng ia diberi julukan Sunan Kuning.dan makamnya disebut sasana langgeng kemuning.
Upacara ini diadakan untuk menghormati dan mengirim doa untuk Kyai Kuning, yaitu leluhur warga desa polobogo. Oleh sebab itulah upacaranya juga disebut mbangkuningan karena untuk menghormati Kyai Kuning. Acara ini dilaksanakan pada bulan rejeb, pada hari Senin Pahing. Mbangkuningan tidak hanya diikuti oleh warga Polobogo saja, tetapi warga dari sekitar kabupaten semarang, bahkan ada yang dating dari Kendal, mereka mengharap berkah dari acara tersebut.
Sehari sebelum upacara dilaksanakan, diadakan kerja bakti warga untuk membersihkan makan sunan kuning dan keluarganya. Dan pada keesokan harinya warga desa menggelar doa di makam dengan membawa nasi, lauk, dan jajan pasar untuk dibawa ke makan guna mengikuti upacara mbangkuningan. Pada zaman dahulu nasi dan lauk berfungsi sebagai sesajen, dan makanan yang sudah di bawa ke makam tidak boleh dibawa pulang kembali oleh yang membawa. Yang boleh membawa adalah orang dari luar desa yang mengikuti acara untuk mengharap berkah. Tetapi sekarang cara seperti itu bsudah diubah seiring dengan berkembangnya agama islam,makna dari membawa nasi dan lauk pauk ini adalah untuk memberi makan orang yang ikut acara mbangkuningan.Dan agar makanan yang sudah dibawa tidak tersisa dan dibawa pulang lagi kerumah, pada acara mbangkuningan sekarang, semua warga yang ikut acara diwajibkan untuk ikut makan bersama-sama.
Menurut Koentjaraningrat (1984:190) pengertian upacara atau ritual atau ceremony adalah sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.
Di eks karesidenan Semarang ini kami menemukan beberapa upacara adat yang masih dilaksanakan oleh masyarakat. Dalam upacara adat ini, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sesuai dengan tujuan diadakannya upacara tersebut. Ada beberapa upacara adat yang diadakan masyarakat diderah tersebut, antara lain:
1. Upacara Ngekol
Upacara Ngekol yang ada di Desa Bejalen, kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Desa Bejalen mempunyai tradisi yang diadakan setiap satu tahun sekali yang disebut ngekol. Ngekol ini diselenggarakan untuk mengenang atau menghormati orang pertama yang telah membuka desa Bejalen, yaitu Mbah Gozali. Beliaulah yang membuka lahan di sekitar rawa pening yang kemudian disebut Desa Bejalen, yang diambil dari nama orang pertama yang tinggal di daerah itu, yaitu mbah Gozali. Tetapi orang-orang di daerah tersebut biasa memanggilnya mbah Gojali, maka tersebutlah desa Bejalen.
Acara ini diadakan pada bulan Dzulhijjah, dan berlangsung selama dua hari. Hari pertama pada malam hari setelah isya’ warga menggelar do’a bersama, yaitu membaca tahlil dan surat yasin. Bertujuan mengirim doa untuk Mbah Gozali. Setelah doa selesai para pemuda menggelar pentas budaya, yang di isi dengan pertunjukan kuda lumping, klotekan lesung, tari pesisiran, dan yang menjadi khas yaitu tari kuda blarak. Baru pada pagi harinya diadakan kirab atau arak-arakan yang diikuti oleh seluruh warga Bejalen.Dalam arak-arakkan itu semua warga Bejalen dengan senang hati mengikuti dari yang tua sampai yang muda. Mereka bersemangat mengikuti arak-arakan. Arak-arakan dimulai dari desa Bejalen sampai ke makam Mbah Gozali, yang jaraknya sekitar 2km.
Yang menjadi khas dari sekian banyak arak-arakan adalah gunungan salak.Karena Bejalen adalah daerah penghasil salak. Yang dibawa saat arak-arakkan selain gunungan salak juga membawa hasil pertanian dan ikan. Karena sebagian besar warga Bejalen bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan disekitar rawa pening. Tumpeng, bunga dan ingkung ayam, dan bermacam-macam buah-buahan juga tidak lupa memeriahkan arak-arakan tersebut.
Setelah arak-arakan sampai di Makam Mbah Gozali, tumpeng dan gunungan dikumpulkan di sekitar makam, warga berkumpul dan sang juru kunci membacakan doa, yaitu tahlil, setelah doa selesai warga langsung berebut malanan dan buah-buahan yang ada di gunungan dan tumpengan karena merela percaya bila berhasil membawa pulang makanan atau buah dari acara ngekol makam Mbah gozali, makanan atau buah-buahan itu akan membawa berkah.
Setelah acara rebutan tumpeng selesai, masih ada satu acara lagi untuk memeriahkan acara ngekol ini yaitu berebut ikan di kolam dengan tangan kosong.biasanya yang mengikuti acara ini anak-anak, namun orang tua juga diperkenankan karena untuk memeriahkan acara.
2. Upacara Merti Dhusun
Masih di kabupaten Semarang, di Desa Keji Kecamatan Ungaran Barat, kami juga menemukan upacara yang hampir serupa dengan yang ada di desa Bejalen yaitu Merti dhusun. Merti dhusun merupakan acara syukuran yang dilakukan warga desa Keji setiap satu tahun sekali. Acara ini biasanya diadakan pada hari Senin kliwon, pada pertengahan tahun. Acara ini diadakan untuk menghormari arwah nenek moyang pembuka dusun keji, yaitu orang pertama yang tinggal di Keji.
Pada saat acara, warga membawa makanan berupa nasi dan lauk pauknya, seperti ayam, sayur tahu, dan kerupuk, serta beberapa jajan pasar dan minuman. Mereka memebawa makanan tersebut ke rumah kepala desa, tempat dimana merti dhusun dilakukan. Setelah itu mereka berdoa bersama-sama, dan setelah doa selesai maka mereka mersama-sama menyantap makanan yang sudah mereka bawa.
3. Upacara Merti Banyu
Di Desa keji juga ada upacara merti banyu, Merti banyu diadakan sebagai selamatan dan rasa syukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan sumber air, sehingga sawah dan ladang tidak pernah kekeringan. Sumber air itu letaknya sekitar lima ratus meter dari ujung utara desa. Masyarakat menyebutnya Tuk watu kumlasa. Acara merti banyu dilakukan setiap setahun sekali. Malam hari sebelun acara dilaksanakan warga desa menggelar doa bersama di salah satu rumah warga. Dan pada pagi harinya merupakan puncak acara yaitu menggelar arak-arakan tumpeng dan makanan dari desa sampai ke sumber air. Sesampainya di sumber air, sang juru kunci melakukan prosese penyembelihan ayam kampong dan setelah ayam di beri doa, ayam dibakar dan dimakan bersana-sama.
4. Upacara Mbangkuningan
Upacara mbangkuningan adalah upacara adat tahunan yang rutin diadakan oleh warga desa Polobogo, kecamatan Getasan, kabupaten semarang. Upacara ini sudah ada sejak tahun 1598 masehi. Saat terjadi perang di keraton Surakarta, salah seorang bangsawan keraton yang bernama Ki Soreng melarikan diri dan sampailah di suatu tempat yang akhirnya disebut polobogo. Polo berarti tanah, dan bogo merarti makanan, karena di daerah tersebut memang subur dan banyak makanan.pada saat Ki Soreng meninggal dunia, ia berpesan supaya dimakamkan di tempat dimana ia bersemedi. Di tempat itu tumbuh pohon besar yang berbunga kuning. Oleh karena itu untuk mengenang Ki Soreng ia diberi julukan Sunan Kuning.dan makamnya disebut sasana langgeng kemuning.
Upacara ini diadakan untuk menghormati dan mengirim doa untuk Kyai Kuning, yaitu leluhur warga desa polobogo. Oleh sebab itulah upacaranya juga disebut mbangkuningan karena untuk menghormati Kyai Kuning. Acara ini dilaksanakan pada bulan rejeb, pada hari Senin Pahing. Mbangkuningan tidak hanya diikuti oleh warga Polobogo saja, tetapi warga dari sekitar kabupaten semarang, bahkan ada yang dating dari Kendal, mereka mengharap berkah dari acara tersebut.
Sehari sebelum upacara dilaksanakan, diadakan kerja bakti warga untuk membersihkan makan sunan kuning dan keluarganya. Dan pada keesokan harinya warga desa menggelar doa di makam dengan membawa nasi, lauk, dan jajan pasar untuk dibawa ke makan guna mengikuti upacara mbangkuningan. Pada zaman dahulu nasi dan lauk berfungsi sebagai sesajen, dan makanan yang sudah di bawa ke makam tidak boleh dibawa pulang kembali oleh yang membawa. Yang boleh membawa adalah orang dari luar desa yang mengikuti acara untuk mengharap berkah. Tetapi sekarang cara seperti itu bsudah diubah seiring dengan berkembangnya agama islam,makna dari membawa nasi dan lauk pauk ini adalah untuk memberi makan orang yang ikut acara mbangkuningan.Dan agar makanan yang sudah dibawa tidak tersisa dan dibawa pulang lagi kerumah, pada acara mbangkuningan sekarang, semua warga yang ikut acara diwajibkan untuk ikut makan bersama-sama.
Langganan:
Postingan (Atom)